Presiden Gus Dur Turun Tangan:
Kerja Keras Menerjemahkan Weda
Sudah lama ada keluhan
dari umat Hindu tentang langkanya Kitab Suci Weda dalam bahasa Indonesia. Baru sekarang
ini terjemahan itu akan dimulai, berkat gebrakan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, Ir. Wayan
Gunawan dan dorongan Presiden Abdurrahman Wahid.
Keluhan itu sudah muncul lama. Semua pelajar-pelajar yang beragama
Hindu tahu apa kitab suci Hindu, yakni Catur Weda. Dan bagaimana uraian Catur Weda itu
sendiri, semuanya juga paham. Yakni, Reg Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda. Apa
isi masing-masing Weda itu juga sudah diajari. Bahkan kapan Weda itu diturunkan, dan siapa
Maharesi (Nabi) yang menerima wahyu Tuhan sebagaimana yang kemudian ditulis dalam Weda
itu, sudah sering dijadikan pertanyaan dalam Lomba Cerdas-Cermat yang berkaitan dengan
Utsawa Dharma Gita. Tetapi, siapa yang sudah punya kitab Weda? Jarang sekali yang punya.
Bahkan yang melihat saja pun belum pernah. Yang kini dibawa-bawa oleh umat Hindu sebagai
"pengganti" Catur Weda itu adalah kitab Bhagawadgita.
Ini merupakan kesalahan panjang pembinaan umat Hindu di Nusantara
ini, khsususnya di Bali, yang masih menggunakan metode "gugon tuwon" dan belajar
agama bukan lewat sastra tertulis. Bahkan, pada banyak masyarakat tradisional di Bali,
melaksanakan ajaran agama sudah cukup dengan datang ke Pura melakukan persembahyangan.
Persembahyangan itu pun bertahun-tahun di masa lalu dilakukan dengan mantra-mantra lokal.
Namun belakangan ini mantra-mantra yang bersumber dari Kitab Suci Weda sudah mulai
diperkenalkan.
Terasa agak mengejutkan ketika Presiden Abdurrahman Wahid sendiri
"ikut gusar" dengan kasus ini. Ketika menerima Panitia Nasional Dharma Shanti
Nasional dan Utsawa Dharma Gita Tingkat Nasional di Istana Merdeka, 13 Maret lalu,
Presiden Gus Dur meminta supaya Kitab Suci Weda diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
"Kalau tidak diterjemahkan, bagaimana orang lain tahu," kata Gus Dur.
"Kalau orang lain (maksudnya yang non-Hindu) tidak tahu, sulit ada komunikasi.
Setelah terjemahan itu ada, buat penafsiran-penafsiran yang terus-menerus dilakukan, untuk
menjawab tantangan zaman," kata Gus Dur lagi.
Ketika hadir pada pembukaan Utsawa Dharma Gita Tingkat Nasional di
TMII Jakarta, 14 Maret esoknya, Gus Dur kembali meminta agar umat Hindu tidak boleh
ketinggalan dalam menghadapi perubahan zaman. Kembali disebut-sebut pentingnya Weda
diterjemahkan dan kemudian ditafsirkan terus-menerus. Presiden menyebutkan ada dua hal
yang akan diperoleh jika penafsiran ulang kitab-kitab suci itu dilakukan. Pertama adalah
bagaimana ajaran agama itu benar secara prinsip, dan dijadikan pedoman oleh pemeluknya
dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Yang kedua, ajaran agama itu mampu digunakan
untuk mengantisipasi perubahan zaman. "Saya terus terang tidak pernah mengikuti
perkembangan agama Hindu, apakah ada filosofinya atau telah ada penafsiran ulang secara
terus-menerus," kata Presiden.
Proyek Besar
Apa yang dikatakan Presiden memang benar, kitab Weda belum ada
terjemahannya dalam bahasa Indonesia secara utuh. Baru terjemahan sepotong-potong, dan itu
pun dilakukan melalui Weda yang dalam bahasa Inggris. Ini menunjukkan bagaimana SDM Hindu
yang sangat langka menguasai bahasa Sansekerta, apalagi membaca huruf Dewanegari. Namun,
terjemahan yang sudah sepotong-potong itu pun sangat bermanfaat untuk umat dan besar
jasanya dalam pembinaan agama Hindu selama ini. Terjemahan sepotong-sepotong itulah yang
kini dijadikan acuan dan penafsirannya sudah banyak diterbitkan.
Tapi, apa langkah ke depan? "Kita harus kerja keras," kata
Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, Mayjen Purnawirawan Ir. Wayan Gunawan kepada Raditya.
Sebuah proyek besar yang didukung dana milyaran rupiah dari pemerintah akan segera
bergulir untuk penerjemahan kitab Weda ini. Menurut Wayan Gunawan, dalam waktu dekat para
cendekiawan Hindu akan dikumpulkan untuk menjawab tantangan Presiden Gus Dur ini. Bahkan,
saat ini sudah dilakukan sebuah penjajagan, bagaimana teknik menerjemahkan Weda itu dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. "Dalam delapan bulan ini sudah harus jadi. Di mulai
April mendatang, awal anggaran baru, proyek besar ini akan berjalan," katanya. Kenapa
delapan bulan? Karena anggaran pemerintah tahun 2000 ini singkat, dari April sampai
Desember 2000. Proyek ini pun harus mengikuti anggaran pemerintah itu. Karena membutuhkan
waktu cepat, penerjemahan itu pun dilakukan lewat Weda dalam bahasa Inggris. Bagaimana
kalau terjadi kesalahan? "Yang penting terbit dulu, ada dulu dalam bahasa Indonesia.
Jika sudah terbit dan kemudian ada koreksi-koreksian kita perbaiki terus-menerus. Untuk
mencari terjemahan yang sempurna mungkin butuh waktu lima atau sepuluh tahun. Yang penting
ada dulu," kata Wayan Gunawan.
Untuk mengantisipasi kekeliruan karena diterjemahkan dari bahasa
Inggris, menurut Wayan Gunawan, dalam terjemahan itu nanti huruf Dewanegari dan bahasa
Sansekerta tetap dicantumkan. Untuk itu Departemen Agama sudah membentuk tim editor maupun
tim pendamping yang terdiri dari pakar-pakar Hindu. Pak Dirjen tidak menyebutkan siapa
saja tim ini, tapi salah satunya adalah Made Darmayasa, yang kini masih berada di India
dan sangat menguasai bahasa Sansekerta dan tahu membaca berbagai jenis huruf yang ada di
India, termasuk huruf Dewanegari. Agus S. Mantik dan Putu Setia dari Lembaga Sanathana
juga sudah diminta oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha untuk ikut terlibat dalam proyek
ini.
Distribusi buku ini akan dilakukan secara bisnis murni. Dan karena
buku akan dicetak luks supaya lebih "berwibawa" sebagai buku suci, harganya
diperkirakan akan tinggi dan mungkin kurang terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.
"Karena itu kita minta bantuan pengusaha, beli bukunya sumbangkan ke masyarakat
bawah. Jangan hanya menyumbang pembangunan Pura saja. Pura semakin banyak dibangun, umat
malah semakin menyusut karena tak tahu ajaran agamanya yang benar," kata Pak Dirjen
lagi. Pembangunan Pura akan diserahkan secara alami oleh masyarakat, dan biasanya
masyarakat mampu membiayai pembangunan ini karena ada ikatan emosionalnya. Tetapi kalau
untuk pengadaan buku-buku agama, emosional itu jarang ada, sehingga sedikit sekali orang
yang memberikan dana punianya untuk pengadaan buku. Dirjen mengimbau agar umat Hindu yang
punya harta berlebih agar ikut terlibat dalam berbagai gerakan penghimpunan dana untuk
pengadaan buku-buku agama, dan menyebarkannya ke masyarakat.
Seorang tokoh Hindu membenarkan sinyalemen Pak Dirjen ini.
Disebutkannya, di Bali sudah banyak ada pura dan semakin banyak lagi yang dibangun, tetapi
umat Hindu justru mudah beralih agama karena tidak ada buku pedoman apa sesungguhnya
konsep dan filosofi dari agama Hindu itu sendiri. Mereka datang ke Pura dengan perasaan
hampa, karena tak tahu untuk apa bersembahyang, dan di mana rujukannya dalam kitab suci.
Sementara agama lain terus-menerus memberikan buku-buku agama, bahkan banyak buku agama
lain yang diterbitkan dalam Bahasa Bali. Jika kemudian terjadi dialog-dialog, banyak umat
Hindu yang keteter tak bisa menjelaskan filosofi dari ritual yang mereka hadapi. Dari
sinilah kemudian muncul kerentanan dan kalau terus-menerus "diprovokasi" maka
mereka pun pindah agama.
Namun, Dirjen Wayan Gunawan optimistis umat Hindu akan berkembang
karena sudah mulainya muncul kesadaran untuk mempelajari agama secara benar lewat
kitab-kitab suci. "Kita harus berani melangkah menuju Hindu yang moderen. Saya
menginginkan adanya Hindu Centre yang menjadi pusat rujukan agama Hindu di Indonesia
ini," kata Wayan Gunawan, sambil memuji usaha yang dilakukan Majalah Hindu Raditya
untuk membuka web site Hindu di internet.
Banyak Salah
Memang, kesalahan yang dihadapi dalam menerjemahkan Weda ke dalam
bahasa Indonesia adalah langkanya umat Hindu yang menguasai bahasa Sansekerta dan huruf
Dewanegari. I Wayan Sukarma, seorang guru agama yang ditugaskan di tempat terpencil di
Kalimantan Selatan mengatakan pada Raditya, kitab suci Weda yang kini ada dalam bahasa
Indonesia yang sepotong-sepotong itu banyak yang salah. Ia menyebutkan buku Yajur Weda
terjemahan Gde Puja dengan editor Wayan Maswinara. Pada huruf Dewanegari banyak kata-kata
yang hilang. Begitu pula pada buku Sama Weda terjemahan Gde Puja. Kesalahannya
bukan saja pada huruf dan kata, tetapi kalimatnya juga bisa berubah arti. "Setiap
halaman ada yang salah," kata Wayan Sukarma di tengah-tengah berlangsungnya Utsawa
Dharma Gita di Jakarta.
Ia tahu kesalahan itu karena punya buku pembanding yaitu Catur
Weda Samhita yang disusun oleh Gangge Svara Udasena. "Saya sangat mengharapkan
lembaga pendidikan seperti STAH mengadakan penelitian terhadap terjemahan buku-buku Weda
ini dan kemudian melakukan koreksi," kata Wayan Sukarma sambil menyebutkan memang ada
kesulitan menerjemahkan bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Indonesia dalam huruf Latin.
Apapun, sebuah langkah besar telah dimulai. Di era kepemimpinan Gus
Dur umat Hindu diharapkan punya terjemahan Kitab Suci Weda yang komplit. (I Nyoman
Wirya S) |