Rumahku, Penjaraku
Soeharto
Sejarah kembali berulang dalam waktu 34 tahan. Dulu
Soeharto mengisolasi Soekarno, kini giliran dia sendiri yang diisolasi di rumahnya. Ini
upaya terbaru rneredakan ketidakpuasan banyak orang untuk menunggu sampai 10 Agustus.
Tiga puluh empat tahun yang Ialu, Soeharto menghukum
Soekamo dengan mengisolasinya di dalam rumah. Kapan ia diadili, tak jelas. Di luar malah
berkembang desas-desus bairisan Soekarno melakukan aksi-aksi yang bakal menjadikan
pujaannya sebagai presiden lagi. Padahal, sudah fisiknya lemah akibat komplikasi penyakit,
batin Soekarno menderita karena dikucilkan dan harus pula menghadapi sikap interogator
yang begitu jumawa. Sang proklamator, salah satu founding father, yang orator ulung itu
akhimya meninggal dalam kesepian di Wisma Yaso, 1970.
Akhir Mei 2000, tiga puluh empat tahun kemudian, Soeharto
mendapatkan status tahanan rumahnya. Cuma, kelihatannya perlakuan terhadapnya tidak
sekejam yang terjadi pada proklamator kemerdekaan Indonesia dulu. Misalnya, "rumah
tahanannya" di Cendana, atau rumah tinggal kebanggaan Soeharto selama ini. Jenderal
besar ini juga tidak perlu khawatir kesepian karena Jaksa Agung masih memberikan izin
keluarga, dokter, dan pengacaranya untuk mengunjungi. Memang, untuk orang lain yang mau
membesuk, harus ada izin Kejaksaan Agung. Pendeknya, sekarang Kejaksaan Agung yang
bertanggung jawab atas semua aktivitas sang tersangka kasus-kasus yayasan itu.
Sebelumnya, Kejaksaan Aong seperti kesulitan mencati tempat
yang aman buat si tersangka istimewanya gara-gara sering didemo mahasiswa. Malah, ada
rencana mau memboyong ke hotel segala. Sebaliknya, keluarga Soeharto segera menyatakan
keberatan dengan rencana pemindahan itu. Alasannya, kondisi kesehatannya membutuhkan
tempat yang tenang dan familiar untuk terapi. "Kalau dipindahkan, sama saja dengan
membunuh pelan-pelan Pak Harto, berarti mereka tidak mempunyai keinginan untuk memberkas
kasus ini," kata Deruly Kailimang, salah satu penasihat hukum Soeharto.
Kejaksaan Agung rupanya juga tidak menipunyai pilihan yang
bagus untuk memindahkan Soeharto, kecuali memenjarakan Soeharto di rumahnya sendiri.
"Menurut hitungan Kita, di mana pun Soeharto dipindahkan tidak ada jaminan demonstran
tidak mengusik beliau," ucap Yushar Yahya, Kepala Pusat Penerangan dan Penyuluhan
Hukum Kejaksaan Agung.
Namanya juga pengacara, tim penasihat hukum Soeharto tetap
mencela penetapan status ini. Kata mereka, berdasar KUHAP, mestinya masa penahanan yang
sekarang sudah merupakan wewenang penuntut umum, alias perkaranya sudah diberkaskan, dan
bukan 14 wewenang penyidik. Tapi, agenda kejaksaan lain lagi. Status tahanan kota, kata
mereka, sudah diperpanjang sejak 3 Mei Ialu sampai 11 Juni nanti. Lalu, untuk status
tahanan kota, kejaksaan masih akan memberi ruang timnya dua kali rnasa penahanan,
masing-masing selarna 30 hari. Batas waktu terakhir akan jatuh pada 10 Agustus nanti,
sesuai dengan janji Marzuki Darusman.
Banyak orang yang menilai, masa penahanan yang sekian
panjang itu sebenamya tidak perlu. Apalagi, kejaksaan sudah merampungkan empat buah berita
acara pemeriksaan untuk kasus yayasan dengan bermacam-macarn tema. Ada kasus pembelian
tanah dan PU, uang yayasan yang dideposito atau dipinjamkan pada orang lain, dan ada juga
masalah pembelian saham.
Dalam keadaan tekanan politis yang semakin kuat, tugas
Jaksa Agung memang tidak mudah. Hasil kerjanya bisa saja menjadi rapor merah pemerintahan
Gus Dur. Secara teknis Jaksa Agung harus bisa mengantisipasi pemilihan majelis hakim yang
mempunyai integritas tinggi di tengah porak-porandanya wibawa dan etika para penegak
hukum. Makanya banyak orang yang melihat Kejaksaan Agang lebih senang menunggu Soeharto
dimakan usia dan persoalan selesai sebelum sempat dibawa ke pengadilan. "Kalau
meninggal, kan rahasia Tuhan," kata Yushar.
|