Agama Hindu adalah agama yang penuh dengan simbol.Dan perjalanan agama Hindu ke
berbagai penjuru dunia, me-nyerap banyak budaya-budaya lokal. Akibatnya, simbol-simbol pun
beragam, mengadopsi simbol-simbol budaya setempat.
Itulah sebabnya, simbol-simbol agama Hindu di berbagai wilayah budaya, tidaklah
sama.Ambil contoh sesaji. Antara umat Hindu di Bali dan Jawa, sudah ada perbedaannya,
walau itu tipis dan masih kelihatan benang merahnya. Tetapi, antara Bali dengan
Kaharingan, apalagi Tanah Toraja, sudah mulai perbedaannya jauh. Namun, kalau simbol itu
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa budaya masing-masing, esensinya tetap mengacu
kepada ajaran Hindu.
Itu baru simbol yang menyangkut sesaji, sarana ritual. Belum yang menyangkut tempat
pemujaan. Pura di Bali, mandir dan kuil di India, bale di Jawa, sudah nampak sekali
bedanya. Belum lagi cara umat berpakaian ketika mengadakan upacara ritual itu. Di Bali
lelakinya memakai kain, di Jawa juga pakai kain, tapi gayanya beda. Umum-nya di Bali pakai
kancut, simbol keberanian dan kepahlawanan. Di Jawa tanpa kancut, rata saja,
simbol kelemah-lembutan dan ketenangan. Belakangan anak-anak muda di Bali meniru gaya
berkain lelaki Jawa, tanpa kancut, tetapi "anteng"-nya tetap dipakai, dan agak
panjang ke bawah. Di beberapa tempat di Jawa, lela-kinya juga meniru destar Bali, tetapi
masih ada bau-bau blang-konnya. Adapun umat India hampir mirip dengan umat Hin-du di
Kaharingan (Kalteng) memakai celana dan baju kopyar panjang ke bawah.
Ada simbol yang universal, salah satu contohnya Omkara. Universal dalam hal makna,
tetapi kaligrafinya ber-macam-macam. Ada ratusan ragam kaligrafi aksara suci OM ini,
lebih-lebih ketika komputer menjanjikan variasi-variasi yang sangat mudah.
Kita kemudian dituntut untuk lebih arif memisah-misahkan, mana simbol yang lahir dari
budaya yang diserap oleh agama Hindu, mana simbol yang justru lahir karena adat dan
tradisi setempat, lalu mana simbol universal yang berlaku di seluruh pemeluk Hindu, di
mana pun dia berada.
Sebagian umat di Bali -- karena begitu banyaknya simbol lahir dari budaya -- agak sulit
memisahkannya dengan simbol universal yang biasanya sakral. Nah, di sini perlu majelis
agama seperti Parisada segera memberi patokan, penerangan dan sosialisasi. Sayang,
Parisada terlalu banyak diam, sehingga umat jadi mengambil langkah sendiri-sendiri. Ya,
kalau visinya sama, kalau tidak? Ayo Parisada, bangunlah.