I Made
Mustika
Tentang keindahan pulau Bali dan keunggulan kebudayaan masyarakat
pendukungnya, sudah banyak ditulis orang. Banyak orang luar terkagum kagum pada keindahan
dan kebudayaan Bali. Sehingga muncullah ungkapan-ungkapan yang menyebutkan Bali sebagai
Pulau Dewata, Pulau Sorga, Pulau Seribu Pura, dan seterusnya.
Sebutan-sebutan itu tentu saja membanggakan bagi masyarakat Bali.
Apalagi dalam berinteraksi sosial, masyarakat Bali juga terkenal sangat terbuka dan
bersahabat. Maka semakin seringlah pujian mengalir dari berbagai pihak tertuju kepada
masyarakat Bali. Sampai di sini, pujian dan sanjungan itu tampaknya memang patut dijadikan
suatu kebanggaan.
Tapi, apakah masyarakat Bali tidak memiliki berbagai kelemahan dan
kekurangan? Tentu dan pasti ada. Salah satu kebiasaan buruk masyarakat Bali adalah gemar
berjudi, terutama sekali judi tajen yang sudah dianggap sub kebudayaan masyarakat Bali itu
sendiri. Sebenarnya bukan tajen saja jenis judian yang digemari masyarakat Bali, tapi
hampir semua jenis bentuk perjudian. Jika diurut lima besar permainan judi yang digemari
masyarakat Bali adalah tajen, ceki (jenis kartu), bola adil atau bola-bolaan, dadu kocok,
dan domino atau dam (jenis kartu). Jika diurut lebih panjang lagi tentu masih ada seperti
jenis trui, bakaran, cong, dll.
Andai saja, sekali lagi andai saja, masyarakat Bali tidak memiliki
kegemaran berjudi yang demikian tinggi, maka pulau Bali beserta isinya nyaris sempurna.
Sebutan sebagai Pulau Dewata hendaknya tidak hanya menyatakan bahwa masyarakat Hindu di
Bali menyembah Dewa-dewa selain Hyang Widhi (Tuhan). Tapi lebih dari itu diharapkan
masyarakat Hindu di Bali memiliki watak yang bersifat kedewataan, yang tercermin dari
sikap serta perilaku sehari-harinya.
Judi oleh semua agama, termasuk agama Hindu, mengklasifikasikan
sebagai bentuk perbuatan dosa. Karena itu, segala bentuk perjudian sepatutnya dihindari
oleh setiap umat. Apalagi bila perjudian itu dilaksanakan di dekat pura (tempat
peribadatan) tentu akan menimbulkan citra yang buruk bagi Hindu. Bersikap permisif saja
terhadap judi, sudah menimbulkan citra buruk, apalagi bila itu dilakukan di dekat pura dan
pada waktu diadakan piodalan/upacara. Tentu citra buruk itu lebih kental lagi
penampakannya. Orang luar akan bertanya, bagaimana mungkin umat Hindu datang ke pura
melakukan dua tindakan kontradiktif sekaligus yakni bersembahyang dan berjudi?
Cobalah direnungkan, andai pertanyaan itu datang tiba-tiba kepada
Anda, lalu apa jawaban yang akan diberikan. Kalau faktanya sudah demikian, masihkah
bersilat lidah itu diperlukan. Saya kira tidak. Itu artinya, dengan merebaknya perjudian
di Bali, memberikan dampak yang kurang menguntungkan buat perkembangan Hindu. Hindu
seolah-olah identik dengan perjudian. Kesan ini tentu saja tidak benar, tapi seolah-olah
menjadi benar gara-gara faktanya ada di tengah-tengah masyarakat Bali, walaupun secara
relatif tidak begitu besar.
Besar tidak besar jumlah masyarakat Bali yang gemar bermain judi,
itu tidaklah penting benar. Sebab suku atau kelompok masyarakat manapun di dunia ini pasti
memiliki sejumlah kekurangan dun kelemahan, apakah itu Jawa, Batak, Papua, Indian,
Aborigin, serta bangsa kulit putih sekalipun. Yang penting untuk dicermati adalah agar
perjudian itu tidak melekat dengan sistem peribadatan keagamaan. Tegasnya, kegiatan
perjudian jangan membawa-bawa nama agama. Keduanya harus dipisahkan secara tegas.
Karena itu, ke depan, umat Hindu di Bali harus bisa menjawab
tantangan ini. Tidak boleh lagi ada kegiatan judi di dalam atau di sekitar pura. Juga
tidak boleh sama sekali penggalian dana untuk pembangunan pura diperoleh dari kegiatan
judi. Begitu pula pada hari-hari besar keagamaan, setiap umat harus dapat menghormati
kesucian hari tersebut dengan tidak melaksanakan perjudian. Begitu pula pada saat-saat
mengadakan upacara manusa atau pitra yadnya di rumah masing-masing, agar berpedoman teguh
pada pandangan di atas.
Lalu kapan orang Bali boleh berjudi? Idealnya, ya, tidak boleh kapan
pun dan dimana pun. Tapi kalau kegemaran berjudi itu memang tidak bisa dihilangkan, maka
lakukanlah pada tempat dan waktu yang disesuaikan dengan menghindari hal-hal yang telah
disebut di atas. Hanya dengan cara demikian maka agama Hindu akan dibersihkan namanya dari
pura judi. Artinya kalau ada orang Bali bermain judi itu bukan berarti agama Hindu yang
melegalkan atau mendorong umatnya berjudi. Contoh kasus, bila di banyak tempat ditemukan
perempuan-perempuan Jawa melakukan tindak kegiatan WTS, itu tidaklah dapat digeneralisir
bahwa agama tertentu mengijinkan umatnya melakukan perbuatan zinah.
Dalam keadaan kondisi sosial yang gerah seperti dewasa ini, marilah
masing-masing kelompok saling mengedepankan sisi-sisi positifnya yang diimbangi dengan
pembenahan ke dalam melalui pembinaan dan pembenahan demi penyempurnaan segala sesuatunya.
Bagi umat Hindu, sisi-sisi positif yang telah disumbangkan bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini rasanya sudah begitu banyak. Yang mendesak
untuk segera dilakukan sekarang adalah pembenahan ke dalam. Berbagai citra buruk yang
melingkupinya harus perlahan-lahan dikikis. Sehingga keluhuran Hindu tampak jelas dan
membawa berkah serta kedamaian bagi sekalian umat manusia. Dan sebagaimana orang bijaksana
berkata, tiada kata terlambat untuk memperbaiki segala kekurangan yang kita miliki.
Idealnya, hal penting yang harus dilakukan umat Hindu sekarang ini
dan untuk waktu ke depan adalah dengan meningkatkan srada dan baktinya dengan memperdalam
ajaran Weda. Janganlah momok atau asing dengan kitab suci agama kita sendiri. Dan jangan
lupa, hindari dan jauhilah segala bentuk perjudian yang ada.
Om ano bhadrah krattawo yantu wistawah. Ya Tuhan, semoga pikiran
baik da tang dari segala arah.